18.56

Tafsir, Ta’wil dan Tingkat Lafadh dari Segi Kejelasannya


USHUL FIQH
KELOMPOK 1
Tafsir, Ta’wil dan Tingkat Lafadh dari Segi Kejelasannya
Pendahuluan
Alhamdulillah nahmaduhu wa nasta’inuhu, wa nastaghfiruhu, wa natubu ‘ilaih,             wa na’adzu billah min syururi a’malina wa min syayiati ‘a’malina                               Man yahdillah fala mudilla lahu, wa man yudlil fala hadiyya lahu,                                  Asyhadu an laa ilaaha illa alllah wahdahu la syarika lahu, wa asyhadu anna muhammadan abduhu warosuluhu shollallah ‘alaihi wa alihi wa ashha bihi wa man tabi’ahu bi ihsani ila yaumiddin wa sallimu tasliman. Amma ba’du.
Dalam kesempatan ini kami akan mempresentasikan sebuah makalah yang mana berkaitan erat dengan ilmu ushul fiqh yaitu tentang tafsir dan ta’wil dalam istinbath hukum serta aspek-aspek kebahasaannya. Adapun metode penjelasan kami dengan menggunakan metode literal, yaitu metode keurutan babakan pengertian terus berkesinambungan dengan kajian hal inti tentang pembahasan serta perbedaan dari pengertian dari beberapa pendapat yang ada. Dalam metode ini akan mempermudah dalam memahami obyek kajian yang mana dalam hal ini yaitu tentang tarsirv dan talwil dalam istinbath hukum serta aspek pembagian bahasa bahasa yang perlu ditafsirkan maupun ditakwilkan.
           
I.                   Pembahasan
  1. Tafsir
Tafsir  secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”  berasal dari akar kata al-fasr (f,s,r) yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Tafsir arti bahasa adalah keterangan (al idhah)- penjelasan (al bayan). Masdar dari fi’il “fassara”(Qs. Al Furqan 33) Lisanul ‘Arab: “al fasrul bayan”, yakni “keterangan yang memberikan penjelasan” “al fasru kasyful mughthi”, penafsiran (al fasr) adalah usaha untuk menyingkap sesuatu yang tertutup “kasyful muradi ‘anil lafzhil musykili”, yaitu mengungkapkan arti yang dimaksud dari lafaz yang pelik. Tafsir=masdar “tafsirah”, yaitu: sebuah nama bagi sesuatu yang dipergunakan dokter untuk mengetahui suatu penyakit. Pengambilan (sumber-sumber) tafsir , Tafsir diambil dari riwayat dan dirayat, yakni ilmu lughat, nahwu,sharaf, ilmu balaghah, ushul fiqh dan dari ilmu asbabin nuzul, serta nasikh mansukh.
Kata As Zarkasi dalam Al-Burhan :“Tafsir itu ialah menerangkan ma’na ma;na Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”. Kata AS Shahibut Taujih , Asy Syikh al Jazairi :“Tafsir pada hakekatnya ialah : mensyarahkan lafadh yang sukar dipahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maqsud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut murodifnya, atau yang mendekatinya, atau ia mempunyai pewtunjuk kepadanya melalui sesuatu jalan adalah (petunjuk)”. Kata Al-Jurjany :“tafsir pada asalnya ialah : membuka dan melahirkan ”.
            Pada istilah syara’ ialah : menjelaskan ma’na ayat,urusannya, kisah-kisahnya dan sebab karenanya diturunkan ayat, dengan lafadh yang menunjuk kepadanya secara terang”.[1]Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah :“Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Qur’an, tentang petunjuk –petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. “Menurut Zarkasyi : Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Jadi kesimpulan jelasnya tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya; halal dan haramnya; wa’ad dan wa’idnya, nasikh dan mansukhnya, khas dan ‘ammnya, muthlaq dan muqayyadnya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamtsilnya dan lain sebagainya.
Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan lafadz-lafadz al Qur’an, madlulah dan ahkamnya secara ifrady (sendiri-sendiri) dan tarkib (tersusun) dan ma’aninya yang mengandung keterangan tentang hal ihwal susunannya (Abu Hayyan, dalam kitabnya “al Bahrul Muhith”. Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang hal ihwal al Qur’anul karim, dari segi indikasinya akan apa yang dimaksud oleh Allah. Hal ihwal al qur’anul karim adalah kedudukannya sebagai kitab petunjuk yang benar, kitab yang berbahasa arab yang agung dan mu’jizat abadi bagi nabi Muhammad.
            Diantara macam-macam tafsir sebagai berikut :
            Tafsir ulama kalam
            Yaitu golongan yang menta’wilkan ayat-ayat sifat dan asma’ allah bila tidak sesuai dengan dasar tanzih dan taqdis (kesucian allh), mereka memalingkan dari lahirnya. Al imamu fahruddin ar-rozy menitik beratkan tafsirya mafatihul ghaibi ke dalam jurusan ini yang tergolong dalam tafsir bir-ro’yi.
Tafsir ulama tasyri’, yaitu golongan yang menitik eratkan penafsirannya terhadap ayat-ayat tasyri’ dan mengistimbatkan daripadanya hukum-hukum fiqih serta mentarjihkan sebagian ijtihad atas sebagiaan yang lain. Diantara tafsir yang menitik beratkan soalnya pada ayat tasyri’ ialah,: tafsir-tafsir al kurtubi, abu bakr al araby, abu bakr al jashshash dan shidiq hasan khan.
Tafsir ulama qowa’id, yaitu golongan yang memperkatakan nahwu al qur’an dan lughatnya. Mereka mendatangkan syair-syair untuk mengokohkan lughah al-Qur’an. Inilah mazhab ahli nahwu dan lughah, seperti az zajjad dalam tafsinya “ ma’aniltanzil”, abu haiyan dalam tafsinya “al bahreul mukhith” dan “an nahr”.
Tafsir ulama balaghah, yaitu golongan yang mempertahankan keindahan susunan bahasa al qur’an dan ketinggian balaghahnya. Jurusan ini ditempuh oleh azzumakhsyary dalam tafsirnya “al kasysaf kemudian diikuti oleh al baidlawi dalam tafsirnya “anwarul tanzil” yang dapat kita namai mukhtasar tafsiral kasysaf yang sudah dibersihkan dari paham-paham mu’tazilah. Dan ada juga golongan  yang menerangkan riwayat-riwayat al qur’an dan qira’at-qira’atnya  yang diterima dari ahli-ahli qira’at terpercaya, tafsirnya hikayat-hikayat ahli sufi, isyarat-isyarat al qur’an yang berpautan sdengan ilmu suluk dan tasawuf seperti tafsir at tastary, susunan abu muhammad sahl ibnu abdullah at tastary ( 383 H) dan ruhul ma’ani.
            Tafsir berdasarkan metodologi
            Selama ini sering terjadi kerancuan pemakaian istilah”manhaj”/metode dengan “naz’ah/ittijah” (kecenderungan /aliran). Berbeda dengan dengan pembagian Prof. Dr. H. Abdul Jalal, HA dengan menambah satu dimensi lagi yaitu dari segi sumbernya.
            Metode dalam bahasa arab disebut dengan “al-manhaj” atau “at-thariqat al-tanawih”. Metode menurut Dr. Ibrohim Syarif adalah suatu cara atau alat untuk merealisasaikan tujuan aliran-aliran tafsir.[2]
            Yang dimaksud dengan metode Al-Quran ialah cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik didasarkan atas pemakain sumber-sumber penafsirannya, atau sistem penjelasan tafsiran-tafsirannya, keluasan penjelasan tafsirannya, maupun didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.
            Metode tafsir secara klasik dapat dibedakan jadi dua macam,yaitu;
(1) bi al-ma’tsur Tafsir dengan riwayat (Tafsir bil ma’tsur), adalah menafsirkan Al-Qur”an dengan riwayat-riwayat dan atsar-atsar yang dipandang munasabah bagi ayat, baik riwayatbitu marfu’,mauquf, maqthu’, ataupun hanya berita-berita yang di bawa kaum bani israil, seperti Tafsir Ibnu uyainah, Abu Bakar Ibnu Abi Sya’labah, dan Al- Bukhory. Yang terbaik diantara tafsir-tafsir yang tersebut di atas, ialah : tafsir ibnu jarir ath thabary sehingga merupakan tafsir yang tak ada bandingannya, tarsir, abil laists as samarqondi dan tafsir ibnu kastir.Dan
            (2) bi al-ro’yi (akal).[3]
            Metode tafsir ditinjau dari segi sumber penafsirannya ada 3 macam, yaitu :
1.       Metode tafsir bi al-ma’tsur / bi al-Riwayah / bi al-Manqul, tata cara penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber penafsirn Al-Qur’an, dari Al-Hadits, dari riwayat sahabat dan tabi’in. diantaranya :
         -Jami’al Bayan fi tafsiri Al-Qur’an ; Ibnu jarir atThobari (wafat 310 H)
                        -Al-Kasyfu wa al bayan fi tafsiri Al-Qur’an : Ahmad Ibnu ibrohim (427 H)
                        -Ma’alimu Al Tanzil : imam al-Husain Ibnu Mas’ud al Baghawi (516 H)
2. Metode tafsir bi al-Ra’yi / bi al-dirayah bi al-ma’qul, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang didsrkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufasir terhadap tuntutan kaidah bahasaarab dan kesusastraannya, tiori ilmu pengetahuan setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. Di antaranya :
                        -mafatihu al ghaib : fahruddin ar-rozi (wafat 606 H)
                        -Anwaru al tanzil wa haqaiqu al-ta’wil : Imam al-Baidhawi (692 H)
3. Metode bil iqtironi (perpadun antara bi al-manqul dan bi al-ma’qul), adalah cara menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sunber tafsir riwayah  kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat. Di antaranya :
                        - Tafsir al-manar : syaikh muhammad abduh dan syaikh rasyid ridla (W 1354 H/1935 M)
                        -Al-Jawahiru fi tafsiri Al-Qur’an : Thanthawi al jauhari (W 1358 H)
Metode tafsir ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap ayat-ayat Al;-Qur’an, maka metode tafsir ada 2 macam :
1.      Metode bayani / metode deskripsi, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya dengan memberikan keterangan  secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat/pendapat dan tanpa menilai (tarjih) antar sumber.
2.      ma’alimu al tanzil : imam al-husain ibnu mas’ud al baghawi (516 H)
metode tafsir muqarin / komparasi, yaitu membandingkan ayat dengan ayat  yang berbiscara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapoat mufasir dengan mufasir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan.
                        Al Jami’ li Ahkam  AL- Qur’an : imam Qurthubi (wafat 671 )

            Metode tafsir bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirannya, maka ada 2 macam :
1.      Metode tafsir ijmaly, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya secara global saja yakni tidak mendlam dan tidak secara panjang lebar, sehingga bagi orang awm akan lebih mudah untuk memahaminya. Tafsir Al-Qur’an al Karim : M. Farid Wajdi, Tafsir Wasith : Majma’ al bukhutsil islamiyah.
2.      Metode tafsir iuthnabi, yaitu penafsiran dengan cara-cara menafsirkan ayat-ayat  Al-Qur’an secara mendetail / rinci, dengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehimngga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para orang cerdik pandai. Tafsir Al Manar :Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha (W 14H), Tafsir Al Maraghi : Ahmad Musthafa Al Maraghi (W 137 H/ 1952 M), Tazfsir fi Dhilalil Qur’an : Sayyid Qutub (W 1966 M).
Metode tafsir ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan, maka metode metode penafsiran ada 3 macam yaitu:
Metode tafsir tahlily, yaitu menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dari awal surat al fatihah hingga akhir surat an Naas.
Metode tafsir maudhu’iy. Yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat-ayat mengenai satu judul / topik tertentu, dengan memeperhatikan masa turunnya dan asbabunnuzul ayat, serta mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dan mendalam, dengan memperhatikan hubungan ayatayat yang satu dengan ayat yang lainnya didalam menunjuk suatu masalah, kemudian mentimpulkan masalah yamg dibahas dari dailalah ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu.
            -Al Mar’atu fi Al qur’an al Karim :Abbas Al Aqqad.
            -Ar Riba Fi AL Qur’an Al Karim : Abu Ala Al Maududi
            -Al Mahdatu Al Mankhiyah : Dr. Muh Hijazi
            -Ayat Al Kauniyah : Dr. Abdullah Syahhatah.
Metode tafsir Nuzuly : yaitu menafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan cara urut dan tertib sesuai dengan urutan turunnya ayat al Qur’an
                        -Al Tafsir AL BayaniLi al Qur’an al Karim Binti Asy Syathi’.
                        -Suratu ar Rahman wa suearu qishar karya Syauqi Dhaif.
                        -Tafsir al Qur’an al Karim karya Prof. Dr. H. Quraish Syihab, MA.



  1. Ta’wil
Menurut bahasa: akar kata “al aulu” yang berarti “ar ruyu”=kembali. Akar kata “al ayalah” yang berarti “as siyasah”= mengatur. Kamus: “aalan aulan dan ma’lan ilayhi”= kembali. “aala-aulan dan ma’lan ‘anhu”=“irtadda” (balik kembali). Takwil berarti ungkapan atau penjelasan suatu pandangan. Kata takwil dapat ditemukan pada QS. Ali Imran 7, An Nisa 59, Yusuf 44, Yusuf 100 Ulama salaf à menegaskan, takwil adalah, Menafsirkan kalimat dan menerangkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriah kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. (cakupannya: bab ilmu, dan rangkaian kalimat/keterangan seperti tafsiran, komentar, dan penjelasan). Esensi dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. (cakupannya: esensi perkaran-perkara yang didapati di luar, baik terjadi pada masa lampau ataupun yang akan datang). Dengan demikian , secara kebahasaan ta’wil dapat diartikan tafsir (penjelasan, uraian), al-mashir (tempat kembali), al-jaza’ (balasan yang kembali padanya).
Menurut Terminologi  Atas dasar ini maka ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna: Ta’wil menurut  Adib Shalih,  pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak cepat dapat ditangkap,karena ada dalil yang yang menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud lafal tersebut. Pendapat imam al-Ghozali yaitu ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadhyang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan makna dhohir.[4] Sedangkan menurut  Abu Zarhah yaitumengeluarkan lafadh dari artinya yang dhohir kepada makna yang lain, tetapi bukan dhohirnya. Beberapa persyaratan untuk ta’wil yaitu :
a.       Lafadh yang dita’wil harus betul-betul memenuhi criteria dan masuk dalam kajiannya.
b.      Berdasarkan dalil shohih yang bias menguatkan ta’wil, contoh nya ketika ada hadits yaitu apabila keluarga menangisi mayyit maka akan disiksa si mayyitnya. Hal ini dibantah dengan dalil nash yaitu bahwa seseorang tidak menangglung dosa orang lain.
c.       Lafadh mencakup arti yangdihasilkan melalui ta’wil menurut bahasa, yaitu dengan cara ekstual, kontekstual, atau majaz.
d.      Tiding bertentangan dengan nash qoth’I karena nash bagian dari aturan syara’ yang umum.
e.       Arti dari pena’wilan harus lebih kuat dari arti dhohir, yakni dengan dalil.
Menurut Adib Shalih, ta’wil banyak berlaku pada bidang hukum islam. Misalnya, mena’wilkan suatu lafal dari makna hakikat kepada makna majaz-nya, nena’wilkan lafal mutlaq kepada pengertian muqayyad, mena’wilkan suatu bentuk perintah kepada pengertian yang selain hukum selain haram. Di antara contohnya dalam hadist Rosulullah yang diriwayatkan Abu Daud: Dari Muhammad bin al-‘Al’ dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda :
 Pada binatang ternak unta yang dilepas, pada setiap empat puluh ekor, (wajib dizakatkan) satu ekor unta bintu labun, barang siapa yang enggan mengeluarkannya, maka kamilah yang akan mengambilnya, sebab sebagian harta miliknya merupakan hak dan kewajiban Tuhan kami ‘azza wa jalla, yang tidak layak bagi keluarga Muhammad sedikit pun.(H.R Abu Dawud).
Kalangan Hanafiyah mena’wilkan lafal eekor unta bintu labun dalam hadist di atas dengan nilainya. Berdasarkan hal tersebut, menurut aliran ini untuk membayar zakat binatang ternak kambing misalnya, di samping boleh dengan membayarkan dalam bentuk kambing itu sendiri, boleh pula membayar nilainya. Alasan mereka, karena kedua bentuk pembayaran itu sama-sama bisa menutupi kebutuhan orang yang sedang membutuhkan, dan hal itulah yang menjadi tujuan syari’at. Namun, kalangan Syafi’iyah tidak melakukan ta’wil terhadap maksud hadis tersebut, sehingga yang wajib dibayarkan adalah bentuk kambing itu sendiri, bukan nilainya.
Secara ringkas dalil-dalil yang digunakan dalam ta’wil adalah sebagai berikut ;
1.      Nash al-Qur’an dan as-Sunnah
2.      Ijma’
3.      Kaidah fiqh
4.      Hakikat kemashlahatan umum
5.      Adat yang diucapkan dan diamalkan
6.      Hikah syari’at atau tujuan syari’at itu sendiri
7.      Qiyas
8.      Akal, yang menjadi sumber perbincangan segala sesuatu
 
  1. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut; Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
1.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah
1.1.1 Zhahir
Berikut beberapa definisi tentang Zahir; “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”[5]
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”[6]
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.[7] Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain. Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
1.1.2 Nash
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah. Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut; “ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi.) “Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Olehsebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.
1.1.3 Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
1.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.
2. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya.
2.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah
2.1.1 Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah,    ”suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada diluar lafazh itu sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.” (Al-Dabusi)
”suatu lafazh zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.”[8]
Sebagai contoh pengertian lafazh as-sariq yang tegas pada orang yang mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara. Jika pengertian ini diterapkan pada masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam kuburan, korupsi, maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.
2.1.2 Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya, sedangkan menurut istilah, ”suatu lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil dan qarinah”.[9]
”yang dimaksud musykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya qarinah yang dapat menjelasan kerumitan itu,dengan jalan pembahasan yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih,1982,I:254).
Perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri. Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada khafi. Sebagai contoh kata an-na pada surat Al Baqarah : 223 yang berarti: kaifa, aina, dan mata. Mana yang lebih cocok dari ketiga makna tersebut. Para ulama ada yang mengambil pengertian kaifa, seperti Ibnu Abbas dan Ikrimah dan lain- lain. Mereka mengartikan ayat itu adalah boleh menggauli istri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan diwaktu haid. Ada yang mengartikan, selagi ia menghendakinya.



2.1.3 Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah, ”lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’)”[10]
Jadi mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya dapat karena peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’, karena sinonim lafazh itu sendiri, ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.
Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara’adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasullullah. Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’tentang lafazh mujmal itu timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.
2.1.4 Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau simpang siur. Atau lafazh yang tidak ditunjukkan oleh lafazhnya itu sendiri kepada maksudnya itu dan tidak terdapat qarinah luar yang menerangkannya. 3 Menurut istilah,
berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah ”suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara, baik Al-Quran maupun Sunah, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang- orang yang mendalam ilmu pengetahuannya”[11]
II.                PENUTUP
Tiada kata terangkai hanya ingin sampaikan terimakasih kepada bapak dosen serta temana-teman yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Jika ada kata yang kurang pas berarti dari kami sebagai mahluk apabila ada yang benar hanyalah karena sang kholiq.

IV. DAFTAR PUSTAKA
            Syafe’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.
            Efendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta:Prenada Media,2009.
            Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Al- Ushul Al-Fiqh, Kairo:Dar al-Qolam, 1978
            Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo:Dar al-Fikr al-Arobi, t.t.




[1] Vide : at Ta’rifat : 37
[2] Ibrohim syarif, 1982;68
[3] Subhi as-shaleh, 1977:190-191
[4] Al-mushtasyfa (al-ghozali, 1973:128)
[5] Bazdawi, 1307 H:46
[6] As-sarakhsi, 1372, I:164
[7] Muhammad adib saleh, 1984 :143
[8] Muhammad adib saleh, 1982:230
[9] As-syarakhsi, 1372 H, I:254
[10] As-syarakhsi, 1732, I:168
[11] As-syarakhsi, 1732 H, I:169

0 komentar:

"Our Agenda"

Kasi pesan ya...